Wednesday, May 6, 2020
Menyusur Simeulue
Lolos dari Tsunami Berkat Kearifan Tradisi Pulau kecil sepanjang 100 km itu telah menghentakkan dunia. Semua orang mengira pulau mungil itu telah hilang ditelan gelombang tsunami. Ternyata Simeulue masih ada. Miracle? Tidak juga, karena mematuhi kearifan nenek moyang, pulau ini selamat, penulis susi yuliati
Sepasang camar laut terbang rendah, menari dan bercengkerama dalam rengkuhan mentari senja. Pemandangan yang indah itu hanya sesaat, namun cukup menghibur hati kami, para relawan peduli tsunami, yang tengah berada di atas kapal barang. Pelabuhan Malahayati, Aceh Besar, telah kami tinggalkan 3 jam yang lalu dan setelah menyusuri pantai barat Sumatera, kini kami menuju Sinabang, ibukota Kabupaten Simeulue.
Inilah perjalanan panjang kami, berlayar di tengah Samudra Hindia, membelah ombak yang bersahutan dalam hujan. Kami bersebelas, masing-masing mencari tempat yang nyaman di antara barang bantuan logistik yang kami bawa untuk korban bencana gempa dan tsunami. Kegiatan ini merupakan lanjutan dari kegiatan kami sejak Januari 2005 di Banda Aceh, sebagai relawan Pramuka peduli tsunami Aceh 2004.
Saat itu, kami turut mengevakuasi korban bencana, mendata pengungsi, mengelola area perkemahan pengungsi, mendistribusikan bantuan makanan dan obat-obatan, mengumpulkan teman-teman pramuka Aceh untuk bergerak dan bangkit dari kedukaan dengan membantu warga korban bencana. Kini, memasuki masa rehabilitasi, saya merancang kegiatan yang bersifat trauma healing, berupa berbagai kegiatan harian di area perkemahan pengungsi seperti belajar dan bermain, melaksanakan kegiatan kesenian (tarian, nyanyian, drama, melukis), memberikan pelayanan nutrisi, membuat air bersih, dan bersama masyarakat membangun kembali desa, tempat ibadah dan pertemuan. Dalam rangka mewujudkan community development camp itulah perjalanan ini dilakukan.
Perjalanan panjang
Sebenarnya perjalanan yang lebih singkat menuju pulau Simeulue dapat dilakukan lewat udara dari Medan -satu jam perjalanan - dengan pesawat jenis Cessna SMAC dan Susi Air yang beroperasi dua kali dalam seminggu. Tapi jadwal penerbangan kerap tidak pasti karena cuaca. Pulau Simeulue juga dapat dicapai dengan kapal penumpang dari Meulaboh Aceh Barat, memakan waktu 12 jam perjalanan, dan dari Labuhan Haji Aceh Barat Daya selama 8 jam perjalanan.
Tak terasa pagi telah berganti, hampir 30 jam telah berlalu sejak keberangkatan kami sampai kapal barang yang kami tumpangi merapat di pelabuhan Sinabang, pukul 10 malam. Kami mendirikan tenda di halaman kantor Bupati, bergabung dengan tenda-tenda relawan dari organisasi-organisasi lain.
Pulau Rawan Gempa
Simeulue - yang berarti Si Pemalu (Meulue) yang seharum melati (melue) - adalah pulau terdekat, sekitar 40 km, dari pusat gempa yang berskala richter 9,9 dan yang disusul oleh tsunami yang meluluhlantakkan daratan Aceh dan Sumatera Utara, Malaysia, Thailand, India, Srilangka hingga pantai timur Afrika. Pulau kecil sepanjang 100 km itu telah menghentakkan dunia. Semua orang mengira pulau kecil yang sering luput dari perhatian kita itu telah hilang ditelan gelombang tsunami. Ternyata Simeulue masih ada dan semua pun orang bersyukur. Bagaimana bisa? Miracle?
Gempa hampir setiap hari menggoyang pulau yang berada tepat di atas palung laut ini. Saya menyaksikan gedung perkantoran, dekat kamp relawan, runtuh oleh guncangan gempa pagi hari. Sejumlah 71.550 dari 80.548 penduduk mengungsi dan tersebar di daerah perbukitan. Rupanya kontur pulau yang berbukit dan hutan bakau telah menyelamatkan pulau ini dari bencana tsunami.
Kearifan yang menyelamatkan
Namun, bukan itu saja yang jadi penyelamat warga Simeulue, karena ternyata masyarakat mempunyai pengetahuan mendeteksi bencana tsunami yang mereka sebut seumong atau smong (ombak bergulung). Kearifan lokal mengajarkan penduduk di sana bahwa gerakan gempa yang berayun ke kiri dan kanan, ke atas dan ke bawah, atau bersamaan, dipercaya tidak menyebabkan tsunami.
Hanya gempa yang diikuti surutnya air laut yang menyebabkan tsunami. Nga finon fesang seumong (sesudah gempa terjadi tsunami) itulah pesan nenek moyang agar mereka selalu waspada terhadap jenis gempa dan tandatanda gelombang besar yang dapat mengancam jiwa dan keselamatan warga.
Oleh karena itu, ketika terjadi gempa, mereka akan memperhatikan air laut dan air sumur. Jika air laut surut, mereka berlari ke bukit untuk menghindari seumong sambil berteriak, "Seumong! Seumong!" Selain surutnya air laut, tanda-tanda akan terjadinya bencana juga terdeteksi dari perilaku hewan dan panasnya udara. Kera-kera, kerbau berlarian menuju hutan bukit sambil mengeluarkan suara gaduh. Burung-burung yang setiap hari berkicau tak terdengar suaranya. Udara terasa sangat panas, angin tak bertiup dan suasana alam terasa sunyi.
Dan meskipun tsunami telah berlalu, masyarakat masih akan tetap tinggal di bukit selama air laut tak kunjung surut. Mereka baru turun gunung setelah melihat kerbau beriringan mandi di pantai dan kera berayun-ayun di pepohonan pinggir pantai serta kicauan burung kembali terdengar. Itulah sinyal aman yang diberikan oleh hewan.
Kearifan tradisional ini diperkenalkan kepada anak-anak sejak usia dini dalam bentuk pantun yang berbunyi
"Seumong rume-rume mo,
Linon uwak-uwak mo,
Eiaik kendang-kendang mo,
Kilek suiuh-suluh mo".
Artinya
Tsunami adalah air mandi-mandimu
Gempa adalah ayun-ayunanmu
Petir adalah kendang-kendanganmu
Kilat adalah lagu-lagumu
Inilah pantun yang didendangkan kaum ibu saat menidurkan anaknya. Pantun ini memperkenalkan alam sebagai bagian kehidupan, dan kehidupan adalah musik alam. Karena itu, janganlah takut anak-cucuku.
Kekayaan alam
Penduduk Simeulue yang multikultural terdiri dari berbagai kelompok, masing-masing dengan bahasa daerah yang berbeda.
Kelompok bahasa terbesar adalah bahasa Defayan dan Sigulai, sedangkan bahasa yang hanya digunakan oleh sekelompok kecil masyarakat adalah bahasa Leukon.
Waktu senggang, saya berkeliling kota Sinabang dengan sepeda motor. Penduduk kota ini sebagian besar adalah pendatang, seperti, suku Aceh, Bugis, Batak, Minang, dan Jawa; mereka ini menggunakan bahasa jamee (bahasa tamu). Losmen dan rumah makan terdapat di kawasan pelabuhan dan pasar. Jenis makanan umumnya serupa dengan masakan Padang di Jakarta. Di pasar ada telur penyu yang bisa dibeli dengan harga seribu rupiah sebutir. Telur-telur ini didatangkan dari Pulau Mincau yang dikenal sebagai pulau telur penyu, berjarak sekitar 1,5 jam dari Sinabang.
Menyusuri pantai di sekitar Sinabang, yaitu Pantai Lasikin yang ditumbuhi pohon kelapa hingga Pantai Lambaya, tampak sedang dibangun kawasan Wisata Jemur sepanjang 40 km. Di desa Lasikin terdapat Bandara Perintis Lasikin. Air laut di daerah Lasikin ini jernih dan sangat baik untuk berenang, kecuali selama musim Barat.
Di depan Pantai Lasikin terdapat Pulau Teupah yang dapat ditempuh dengan kapal motor sekitar satu jam. Daerah ini sangat indah dan menyimpan banyak tempat "rahasia" untuk berselancar. Di sini para wisman berselancar. Liburan di Simeulue ini dikoordinasi oleh Baneng Simeulue Resort.
Dua belas kilometer dari Sinabang, terdapat Pantai Gading yang berpasir putih dengan air lautnya yang tenang.
Kurang lebih 45 km dari Sinabang terdapat desa Luan Balu, tempat penyeberangan ke Pulau Pinang, yang merupakan lokasi terumbu karang dengan keanekaragaman ikan karang dan pantai berpasir putih. Simeulue memiliki banyak pantai yang indah serta pulaupulau kecil yang indah untuk berenang dan menyelam seperti Pulau Alawa, Asu, Siumat, Batu Berlayar, Pantai Naibos, dan Suak Lamatan. Sementara Pulau Tepi, Leukon, Simeulue Cut, dan Danau Laut Tawar sangat baik untuk lokasi penangkapan ikan. Potensi pariwisata dapat menambah Pendapatan Daerah, namun alam Simeulue belum digarap sebagai kawasan wisata alam.
Menembus hutan
Dari Sinabang dengan sepeda motor, saya dan seorang teman berangkat menuju Kecamatan Alafan, yaitu kecamatan yang terkena musibah terparah akibat gempa dan tsunami. Masuk ke daerah ini cukup sulit karena jalan penghubung berupa jalan kecil yang licin seusai hujan dan berdebu saat matahari terik.
Perjalanan dimulai dari Sinabang menuju Teupah Selatan dan Teupah Barat. Tampak rumah dan gedung sekolah yang rusak dan hancur. Kami melewati beberapa kamp pengungsian dan menyeberangi beberapa sungai karena jembatan putus. Setelah makan siang di Kampung Aie, perjalanan dilanjutkan melalui Nasrehe dan Padang Unoi. Sayang sekali, terjadi gempa dan turun hujan setiba di Padang Unoi sehingga kami tidak dapat menyeberangi sungai karena air laut pasang. Terpaksa kami kembali ke Kampung Aie dan bermalam di warung Pak Haji. Setelah sarapan pagi dengan lontong sayur, perjalanan dilanjutkan.
Sepanjang perjalanan, kami melewati pantai dan hutan. Sesekali kami bertemu dengan kawanan kera ekor panjang. Kami masuk dan tinggal di desa Lafakha selama beberapa waktu untuk melakukan
kegiatan kesehatan masyarakat. Sebuah rumah kosong di sebelah rumah Sekdes, kami gunakan sebagai base camp. Lafakha dihuni oleh orang Leukon, yaitu sekelompok masyarakat berbahasa Leukon yang jumlahnya tidak lebih dari 600 orang.
Dekat dengan alam
Kehidupan warga Leukon masih akrab dengan alam. Rumah warga desa terbuat dari papan dengan atap rumbia, berlantai tanah beralaskan anyaman tikar pandan dan tidur berbantal pintalan alang-alang. Warga desa bekerja sebagai peramu hutan, pencari ikan dan bercocok tanam bahan pangan. Makanan utama sehari-hari pada musim ikan adalah ikan laut bakar lobster rebus dan sayuran segar. Anak-anak terbiasa memakan siput mentah yang menempel di batu karang. Sementara itu, umbi-umbi hutan dan sagu merupakan makanan khas saat tidak ada beras atau saat musim kering. Buah-buahan hutan pun merupakan santapan yang nikmat dan segar.
Obat untuk menjaga kesehatan pun diperoleh dari alam. Anak-anak mengetahui jenis tumbuhan pantai apa saja yang bisa dipakai sebagai obat luka dan bisul, yaitu sifaia (Ipomoea pes-caprae). Sedang tumbuhan yang sering digunakan masyarakat sebagai obat turun panas dan malaria adalah betuk-betuk falalal {Callicarpa longifolia), pohon kecil berbunga ungu dan berbuah putih sebesar telur cecak menempel di batang-batangnya, dan subang-subang {Scaevola taccada).
Saat saya berkesempatan mengunjungi warga desa yang sakit panas- dingin dan mencicipi obat yang dibuat dari campuran kedua tumbuhan tersebut di atas, ternyata rasanya segar agak pahit sedikit.
Pengobatan oleh tokoh pengobat umumnya memanfaatkan kekuatan "magis". Sang pengobat terlebih dahulu mendeteksi jenis penyakit melalui mata batin dan langsung mengetahui jenis tumbuhan yang diperlukan. Adakalanya,
tokoh pengobat adalah keturunan Raja yang memperoleh pengetahuan obat dan pengobatan melalui mimpi. Di desa ini kekuatan "magis" masih sangat dipercaya. Konon, kesenian Rafai Debus yang mempertontonkan kekebalan tubuh terhadap senjata tajam, berasal dari desa ini.
Kehidupan warga desa ini akrab, terutama mereka yang diikat oleh hubungan kekerabatan saudara lingkar yaitu kekerabatan berdasarkan penggunaan satu sumur yang sama.
Kearifan lokal lain yang dapat saya petik dari perjalanan ke pulau cantik ini adalah prinsip hidup fat batatkayee batee yang mengandung pengertian, bahwa semua yang bergerak (hidup) - kayu maupun batu - mempunyai eksistensi yang sama. Falsafah ini mengajarkan generasi muda Simeulue untuk saling menghargai, menghormati, menjaga keseimbangan dan keharmonisan hidup dengan sesama warga maupun dengan alam.
Pulang ke Jakarta
Setelah tugas utama selesai, kami pulang dengan jalur yang berbeda, yaitu menggunakan ferry ke Labuhan Haji, dan dari sana dengan kendaraan umum menuju Banda Aceh. Walaupun hampir sepanjang perjalanan, kami melalui jalan rusak dan licin karena hujan, pengalaman mengunjungi Pulau Simeulue yang multikultural dan unik ini benar-benar saya nikmati dan syukuri. Sungguh, pengalaman yang akan saya kenang untuk waktu yang lama sekali. (N)
a. Profil anak-anak sekolah, b. Rumah dan peralatannya, c. Tokoh pengobat setempat.
Share this
Recommended
Disqus Comments