Monday, May 4, 2020

Balada Negeri Pecandu Rokok



BERITA besar dari industri rokok merebak berurutan dua pekan ini. Diawali dari kejutan transaksi penjualan 85 persen saham PT Bentoel International Investama (RMBA) senilai hampir Rp 5 triliun minggu lalu dan terakhir adalah berita duka meninggalnya Presiden Komisaris PT HM Sampoerna Tbk (HMSP) Angky Camaro di RS Mount Elizabeth, Singapura, Senin (22/6). Di tengah kedua berita yang mendapat liputan luas itu muncul kabar perombakan pucuk pimpinan Gudang Garam, pabrik rokok terbesar kedua setelah HM Sampoerna. *

Rokok memang pantas mendapat lampu sorot di panggung pemberitaan. Di negeri berpenduduk hampir 270 juta ini, produk yang menawarkan kenikmatan dari menghisap asap itu tidak lagi sekedar urusan kesehatan, namun, sudah jauh menjangkau urusan kepul asap dapur rumah tangga sampai pemerintah.

Hasil penelitian badan kesehatan dunia (WHO) menunjukkan, saat ini, Indonesia mengkonsumsi 250 miliar batang rokok per tahun. Terbesar ketiga setelah Tiongkok dan India. Di kawasan regional. Indonesia menyumbang hampir separuh (46 persen) dari jumlah perokok di kawasan Asia Tenggara.

Data terakhir tentang belanja rokok pada 2005 mancatat. uang yang dikeluarkan masyarakat Indonesia untuk membeli rokok, di luar pengobatan, mencapai Rp 103,5 triliun.

Bagi pengusaha yang selalu mengkalkulasi potensi daerah dari besar konsumsi, angka-angka itu bisa menetaskan atr liur. Dan. dur itu bisa jadi sekarang sudah menjadi pancuran, karena Indonesia tercatat sebagai negara dengan regulasi perlindungan kesehatan dari rokok sangat lemah karena belum meratifikasi Frame Convention Tobacco Control (FCTC). Tiongkok dan India yang pasarnya lebih besar sudah meratifikasi aturan itu.

Karena itu, Philip Morris dan British American Tobacco (BAT) yang terus digencet di negerinya, langsung berpaling ke Indonesia. Birahi akuisisi itu semakin memuncak dengan adanya fakta bahwa perusahaan rokok Indonesia mayoritas merupakan bisnis keluarga. Ketika sampai pada generasi ketiga, pada awal abad 21, bisnis itu makin lemah. Para juragan asing itu semakin girang karena pemerintah menyambut antusias kehadiran mereka. Lagu lama tentang semakin bertambahnya penyerapan tenaga kerja yang diikuti bertambahnya setoran cukai ke kantong pemerintah kembali diputar.

Jika masyarakat kecanduan rokok, pemerintah kecanduan cukai. Parlemen menambah kadar teler dari kecanduan pemerintah itu dengan menyetujui pajak rokok yang akan berlaku mulai 2014. Seperti layaknya perilaku pecandu, maka semua hal yang disebut akibat, efek samping, dan mudarat menjadi kabur.

Padahal, pemerintah harus segera sadar bahwa di balik data yang meneteskan air liur pengusaha juga terungkap data yang menguras air mata. Jika dicermati detil konsumen rokok, maka ditemukan 70 persen perokok adalah masyarakat miskin. Separo dari jumlah itu adalah generasi muda. Akibatnya, terjadi transfer pendapatan perokok anak dan orang miskin ke industri rokok. Uangnya mengalir ke kantong investor asing, penyakit dari asap rokok menyusup ke rongga dada rakyat miskin dan pewaris bangsa.

Sekarang tinggal pemerintah pilih. Tetap memanjakan industri rokok, atau sebaliknya, mengendalikan mereka. Jangan sampai kecanduan segepok fulus, yang sejatinya tak setara dengan biaya kesehatan, plus biaya sosial ekonomi, mengorbankan masa depan bangsa ini. (*)
Disqus Comments