Saturday, November 16, 2019

BERFIKIR DENGAN HATI


Menghukum tanpa melukai, mengkritik tanpa menyakiti. Itulah Imam Suprayogo yang suntuk keempat kalinya terpilih secara aklamasi sebagai rektor Universitas Islam Negeri Malang. Ketulusan dan pengorbananya membuat ia dicintai, tidak hanya oleh civitas academika UIN Malang, tapi juga oleh orang-orang yang bersentuhan dengannya, baik dari dalam maupun luar negeri. MURI Indonesia sebagai pemimpin pendidikan yang sangat cemerlang dalam dunia pendidikan Islam.

Untuk memahami sesuatu, orang biasanya menggunakan alat indera seperti mata, telinga dan seterusnya. Informasi dari panca indera itu kemudian diolah oleh otak, lalu disimpulkan. Kebenaran yang dihasilkan dari cara itu disebut sebagai kebenaran ilmiah. Banyak orang menjunjung tinggi jenis kebenaran ini. Keuntungannya, jenis kebenaran ini bisa diuji secara ilmiah pula, karena bersifat obyektif, terbuka, dan rasional.

Akan tetapi, menurut Prof. Dr. H. Imam Suprayogo, Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, sesungguhnya tidak semua masalah bisa dijelaskan dengan pendekatan ilmiah. Sering kali pendekatan ilmiah juga tidak selalu memuaskan, apalagi yang akan dijelaskan itu menyangkut persoalan yang terkait dengan kehidupan manusia.

Persoalan kemanusian, lanjutnya, biasanya memiliki dimensi luas, hingga tidak terbatas. Sedangkan penjelasan ilmiah, biasanya hanya bisa dilakukan untuk memecahkan persoalan yang terbatas dan terhadap peristiwa yang sudah terjadi. "Peristiwa-peristiwa yang berdimensi luas, apalagi menyangkut persoalan immaterial, dan terkait dengan persoalan masa yang akan datang, maka penjelasan ilmiah tidak selalu memuaskan," urainya kepada FORUM, saat berbincang dengan pakar dalam pengembangan pendidikan Islam ini di Kampus UIN Malang, Ahad sore, 20 Desember 2009, lalu.

Relevan dengan ini, kata pemilik halaman website www.imamssuprayogo.com, manusia bisa belajar dari kisah Nabi Qidir bersama Musa. Kisah itu bersumber dari al Quran. Dikisahkan dalam cerita itu, bahwa Nabi Musa berkeinginan belajar dari Nabi Qidir. Tetapi pada awalnya keinginan Nabi Musa ditolak, khawatir tidak mampu mengikutinya. Namun akhirnya karena keinginan Nabi Musa yang kuat terpaksa dipenuhi, tetapi dengan catatan, Nabi Musa tidak boleh menanyakan apa saja yang dilakukan oleh Nabi Qidir. Persyaratan itu pun disetujui.

Selanjutnya, dalam perjalanan Nabi Qidir yang diikuti Musa, ia melakukan hal-hal yang menurut Nabi Musa tidak masuk akal, seperti misalnya melubangi perahu, membunuh anak kecil, memperbaiki pagar seorang penduduk dan seterusnya. Pada setiap Nabi Qidir melakukan hal yang dianggap aneh, Musa mempertanyakannya. Tetapi Nabi Qidir memperingatkan akan janjinya, yakni tidak boleh bertanya kepadanya.

Melalui kisah itu, baru kemudian akhirnya Nabi Qidir menjelaskan apa maksud sesungguhnya hingga ia melakukan yang

dianggap aneh oleh Musa. Nabi Qidir lewat penjelasannya kemudian temyata memiliki pengetahuan jauh ke depan, yang semuanya adalah justru untuk menyelamatkan kehidupan manusia di kemudian hari. Musa pun kemudian paham. Tetapi kebenaran tindakan Qidir tidak akan bisa dibuktikan, karena memang tidak memerlukan bukti.

Penjelasan Nabi Qidir hanya memerlukan keimanan, bahwa memang jika Nabi Qidir tidak melakukannya akan terjadi bahaya yang lebih serius di kemudian hari. Nabi Qidir dalam hal ini telah menjelaskan kepada Nabi Musa dengan mata hati yang tajam, yang digunakan untuk melihat tentang sesuatu yang akan terjadi jauh di masa depan. Sekalipun di mata Musa apa yong dilakukan oleh Nabi Qidir adalah keliru, - dalam konteks sekarang mungkin ditangkap dan diadili oleh KPK atau Polisi, tetapi justru lebih benar jika keputusan Qidir itu dilihat dari perspektif untuk menyelematkan kehidupan masa depan yang lebih besar dan urgen.

Melihat konteks kehidupan bernegara saat ini, sejak beberapa bulan terakhir, Indonesia disibukkan oleh hal-hal yang yang bersifat korektif ke belakang. Hal itu memang perlu, tetapi semestinya tidak boleh melupakan hal yang lebih penting dan mendasar, ialah persoalan-persoalan yang segera hadir di masa depan. Banyak orang mengatakan bahwa beban bangsa ini ke depan semakin berat. Jumlah penduduk yang semakin meningkat, kebutuhan yang semakin besar, tantangan semakin komplek, persaingan semakin berat, dan seterusnya membutuhkan konsep jawaban yang jelas don realistis.

"Bangsa ini tidak boleh jalan di tempat oleh karena menyelesaikan persoalan kecil yang dianggap besar. Sejak awal reformasi, banyak persoalan-persoalan datang tanpa bisa diprediksi datangnya, baik terkait dengan persoalan ekonomi, politik, sosial dan lain sebagainya. Hal yong sangat tcrasakan sejak lima tahun terakhir ini, secara beruntun dan terus menerus berbagai musibah datang. Semua itu menuntut penyelesaian cepat, cerdas, dan tuntas," terang Imam yang selalu menuangkan ide-ide segamya dalam sebuah artikel usai menjalankan sholat Subuh.

Persoalan yang bersifat mendesak, apalagi serba darurat, tidak akan mungkin dapat diselesaikan dengan pendekatan normatif, legal, dan formal. Semua itu menuntut penyelesaian dengan pendekatan yang bersiat darurat pula. Di masa darurat, tatkala terjadi bencana, musibah, perang, krisis, maka para pemimpin dituntut cakap menyelesaikan dengan menggunakan pertimbang-

on akal budinya. Jika penyelesaian itu masih harus menunggu peraturan, kesepakatan, dan bahkan tersedianya anggaran misalnya, justru tidak tepat.

Pemimpin di saat krisis harus segera mengambil keputusan, apapun resikonya. Oleh karena itu, pemimpin harus dipilih dari orang-orang yang memiliki ilmu, pengalaman, track record yang baik dan cukup, serta kearifan yang tinggi. Pemilihan pemimpin dengan persyaratan seperti itu, diharapkan mereka mampu mengambil keputusan-keputusan cerdas dan berkualitas, yang berada di luar jangkauan hukum, apalagi pemikiran orang awam. Akhir-akhir ini, menurut Imam, banyak terjadi berbedaan pandangan dan bahkan konflik yang disebabkan oleh perbedaan dalam melihat sebuah persoalan yang datangnya mendadak. Sementara pihak melihat suatu masalah dari kaca mata hukum yang bersifat normatif, legal dan formal, sementara lainnya mengambil keputusan berdasar pertimbangan kenyataan-kenya-taan-lapangan, hasil pemikiran, dan kearifannya, tataran didorong oleh niat baik untuk memenuhi amanah dan tanggung jawabnya.

Persoalan seperti ini semestinya semua pihak memahami secara lapang, lengkap, atau menyeluruh. Jika persoalan yang muncul hanya dilihat dari cara pandang tertentu, jelas tidak mustahil akan terjadi kesalahan-kesalahan yang tidak perlu. Memang benar, hukum harus ditegakkan. Akan tetapi, mestinya hukum di kala darurat harus dibedakan dari hukum ketika keadaan normal. "Bukankah sesungguhnya, hukum dirumuskan untuk membela dan menyelamatkan harkat dan martabat kemanjaan itu sendiri, agar rasa keadilan dapat diwujudan," cetusnya.

Sudah waktunya bangsa ini, dengan dipelopori oleh para pemimpinnya - di segala tingkatannya, berpikir jauh ke depan, menggapai persoalan-persoalan yang lebih besar dari sebatas berorientasi pada hal-hal yang bersifat korektif ke belakang. Umpama sebagai pengemudi, boleh saja pada saat-saat tertentu melihat arah belakang melalui kaca spion. Tetapi tidak boleh melebihi porsinya. "Jika pengemudi terlalu banyak melihat ke belakang, selain kendaraan tidak berhasil melaju dengan kecepatan tinggi, maka juga akan berkonsekuensi tertubruk yang mengakibatkan kecelakaan bagi seluruh penumpangnya," Iman beranologi.

Bangsa ini dituntut untuk mencari berbagai terobosan dalam mengembangkan kualitas sumber daya manusia melalui peningkatan kualitas pendidikannya, pelayanan kesehatan, penyediaan

fasilitas umum seperti sarana transportasi, listrik, air, gas, dan sebagainya. Selain itu bangsa ini juga perlu segera menyediakan lapangan pekerjaan, pengentasan kemiskinan, penyediaan sumber-sumber energy yang semakin langka, dan lain-lain. Berbagai persoalan bangsa ke depan itu, tidak boleh hanya dikalahkan oleh penyelesaian konflik antar elite dan bahkan sebatas terkait Bank Century belaka. "Memang benar, bahwa hal disebutkan terakhir perlu diselesaikan. Tetapi tidak boleh energi itu habis hanya sebatas menyelesaikan persoalan itu," kata tokoh kharismatik ini.

Imam Suprayogo lahir di Desa Watulimo, Kabupaten Treng-galek, Jawa Timur, pada 2 Januari 1951. Anak ke delapan dari 16 bersaudara ini terbiasa dengan pendidikan displin dari kedua orangtuanya.

Sang ayah yang menjadi ketua Nahdatul Ulama adalah pemilik sebuah pondok pensantren dengan berpuluh santri di kota kelahirannya. Sedangkan ibunda adalah sosok tangguh yang mendidik anak-anaknya dengan penuh kasih sayang.

Layaknya anak-anak pada masa itu, Imam cukup bahagia dengan masa kecilnya. Meski hidup dalam keluarga besar yang penuh dengan segala keterbatasan, ia begitu menikmatinya. Juga ketika sang ayah memberinya tugas mengembala kerbau, kambing, bebek, hingga kuda. "Ayah saya kalau pengajian ke daerah-daerah selalu mengendarai kuda," kenang Imam sembari men-gataan, ayahnya mempunyai kebiasaan menampung orang-orang gila di rumahnya untuk dirawat dan disantuni.

Dari pengalaman sebagai pengembala Imam mendapatkan ilmu yang luar biasa tentang kepemimpinan. Katanya, untuk mengembala bebek, si pengembala cukup mengikuti dari belakang dengan hanya mebawa tongkat kecil untuk menghalau. Namun kuda yang memiliki nafsu besar tidak bisa diperlakukan sama. "Kalau saya memandikan kuda, asal saya masuk dulu ke dalam air, dia masti mau ngikut. Tapi kalau dia dipukulin dari belakang, malah kita yang akan disepak, hahaha," Imam mengurai tawa.

Artinya, lanjut tokoh yang tercatat sebagai pemimpin pendidikan yang sangat cemerlang oleh MURI Indonesia (2006) dalam memimpin dunia pendidikan Islam ini, ketika memimpin, mulailah dari diri sendiri dengan memberi tauladan di depan. "Karena manusia itu bukan seperi bebek, tapi manusia seperti kuda yang mempunyai nafsu besar," terang Imam.

Otak Imam kecil yang encer, sangat menolongnya untuk menyelesaikan pendidikan dasar dengan lancar. Lulus SMA pada tahun 1971, Iman yang bercita-cita menjai dokter ini menuruti saran sang ayah mendaftar kuliah di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Malang yang sekarang telah berganti status menjadi Universitas Islam Malang, untuk merperdalam ilmu agama sekaligus mengasah ketrampilan berbahasa Inggris selama setahun. Namun setelah lulus, ketika Imam ingin mendaftar di Fakultas Kedokteran, sang ayah memberi isyarat lampu merah. Imam pun nurut. Dan kuliahlah dia sampai tamat di kampus pencetak intelektual Islam itu.

Semasa mahasiswa, jiwa entrepreneur pemuda supel ini ter-asah. Tidak seperti mahasiswa lain yang sibuk dengan kegiatan mahasiswa dan demonstrasi, Iman malah menekuni usaha dagangnya yang mulai berkembang. "Prinsip saya yang penting kuliah cepet selesai agar tidak merepotkan orangtua," tuturnya.

Don benar saja, tiap akhir pekan, Imam segera "kabur" ke Trenggalek, belanja barang. Barang dagangan yang ia jual mulai dari rempah-rempah, melinjo, hingga kulit kambing. Di Malang, semua dagangannya laris manis. Dari keuletannya berdagang, Imam menyimpulkan, asal ada kemauan pasti ada jalan. "Cari

uang itu gampang," cetus tokoh yang yang akhir-akhir ini sering diundang sebagai pembicara, tidak hanya pada perguruan tinggi Islam, tapi juga oleh sekolah tinggi agama-agama non muslim, seperti Institut Agama Hindu Negeri Bali, Sekolah Tinggi Agama Kristen Protestan di Maluku, Universitas Kristen Palangkaraya, dan beberapa universitas di luar negeri.

Lulus dengan prestasi memuaskan, Imam direkrut kampus almamaternya untuk menjadi asisten dosen. Karirnya sebagai pengajar kian moncer ketika pada tahun 1983, Abdul Malik Fajar (mantan Menteri Agama pada masa kepemimpinan Presiden B.J. Habibie) memintanya bergabung di Universitas Muhammadiah Malang sebagai Pembantu Rektor (Purek) 1 dengan tanpa meninggalkan tugasnya di UIN. Mendapat restu dari pimpinan UIN, Imam pun akhirnya menjabat Purek 1 UMM hingga 1996. Banyak prestasi telah dilakukan Imam selama mengembangkan kampus UMM, ketika baru memiliki 260 mahasiswa hingga sekarang telah menampung 23 ribu mahasiswa. Dia pulalah yang mendesain pembangunan kampus UMM 1, UMM2 dan UMM 3.

Tahun 1997, Imam terpilih menjadi Rektor UIN secara aklamasi. Dan, inilah titik awal Imam untuk mewujudkan mimpi-mimpi besarnya membangun kampus UIN. Beberapa perubahan signifikan ia lakukan. Tidak hanya dalam hal pembangunan fisik kampus - yang menjadi begitu megah -, pembangunan mental juga sangat ia tekankan. Bahkan, ia merelakan seluruh honor tujuangan sebagai rektor disumbangkan ke lembaga Zakat Infak dan Sadaqah kampus UIN untuk membatu biaya kuliah mahasiswa.

Meski memberikan secara diam-diam, tanpa sepengetahuan Imam, informasi itu menyebar ke seluruh penjuru kampus. Tauladan ini temyata menggugah semangat kebersamaan di kampus UIN. Akhirnya tak sedikit dosen bahkan orangtua mahasiswa yang juga menyumbangkan rejekinya untuk membantu proses belajar mengajar di kampus. Yang bikin terharu, kata Imam, temyata setiap pekan mahasiswa-mahasiswa mengumpulkan uang jajan mereka untuk kegiatan sosial dan membantu anak jalanan.

Imam adalah darah segar yang mengalir dalam kampus STAIN Malang. Saat terpilih menjadi rektor pada 1997, ia masih berusia 46 tahun. Sejak itu, beberapa langkah strategis pengembangan kampus ia dilakukan. Puncaknya, ketika terjadi perubahan kelembagaan dari STAIN Malang menjadi UIN Malang. Kini, UIN Malang juga sedang membangun perluasan kampus di kawasan Batu, untuk fakultas kedokteran.

Iman tak henti-hentinya memompa semangat keluarga Kam-
pus I IN Malang untuk bekerja keras meraih prestasi. "Dalam suasana dan keadaan apapun tidak boleh melemah apalagi berhenti, jika kita masih tetap ingin meraih kemajuan selanjutnya," tegasnya.

Di belakang seorang laki-laki yang hebat, selalu didampingi oleh perempuan yang kuat. Adalah Hajah Sumarti yang dengan setia mendampingi Imam Suprayogo dalam suka dan duka. Meski hidup sederhana, Sumartilah selalu menukung suaminya untuk tidak putus bersedekah. Karena, prinsip Imam dan Sumarti, rejeki datang layaknya air mengalir. "Kalau dikirim ke sana, pasti akan datang lagi dari tempat yang tak terduga," kata ayah dari Akhmad Farid Widodo, Hasan Akhmad Wirawan, Fuad Hasan Wicaksono dan Asmak Putri Kamila.

Bahkan, di rumah tinggalnya di kawasan Bawang, Lowok-waru, tiap malam jumat istrinya selalu membuat acara bacaan Alquan, lengkap dengan acara makan prusmnnu usai acar selesai. Acara bacaan Alquran itu dihadiri sedikitnya oleh 60 orang laki-laki dan perempuan.

Satu harapan besar Imam terhadap tanah tumpah darahnya ia ingin bangsa Indonesia menjadi Bangsa Indonesia yang sesungguhnya, bangsa indonesia yang beranekaragam kultur adat dan budaya. "Bangsa Indonesia tidak perlu menjadi seperti Malaysia, Amerika, Jepang. Bangsa Indonesia biarlah menjadi bangsa Indonesia yong ditumbuhkembangkan dengan kepribadian Indonesia sendiri," kata Imam menutup perbincangan, j sukowati utami
Disqus Comments