ilustrasi bahasa |
"...Wis ping loro iki aku nyang Honolulu. Sing terakhir patang tahun kepurig-kur. Olehku mrana saiki arep tilik putu. Anakku wedok rak lagi bayen". (Sudah dua kali ini aku ke Honolulu. Yang terakhir mpat tahun lalu. Sekarang ini aku mau menjenguk cucu. Anakku perempuan baru saja melahirkan.)
Kalimat yang disampaikan tokoh Camille Emille di atas bisa terdengar biasa kalau itu disampaikan dalam bahasa Indonesia. Tetapi, menjadi terasa aneh bin lucu ketika mendengarnya dalam bahasa Jawa, dan peraganya adalah Cempluk Sri Lestari, salah satu personel Teater Lungid-nama baru Teater GapitSolo.
Gaya dan aksen Cempluk-juga pada pemeran lain-segera mengingatkan kita pada gaya kampung yang spontan dan tidak bertim-bangpada nilai keadaban masyarakat kota seperti yang kita kenal pada format permainan Teater
Gapit. Namun, itulah yang kita saksikan pada pementasan "Visa" di Teater Arena Taman Budaya Jawa Tengah. Solo, Minggu (21/6) malam.
"Visa-aslinya ditulis Goenawan Mohammad dan dialihbaha-sakan ke Jawa oleh Pclok Sutrisno-mengisahkan tentang sekelompok warga yang hendak mengurus visa ke Amerika Serikat di kantor kedutaan. Mereka beragam latar belakang dan punya tujuan yang berbeda-beda. Drama satu babak ini hendak mempersoalkan hakikat "visa" sebagai pemaknaan atas identitas mereka sebagai manusia, dibumbui romantika hidup yang menyertai peran masing-masing.
Dalam pementasan ini, Cempluk, Inong, Yayat, Aik,Setyoasih, Budi Bodot, Bagong Pujiono, Jarot B Dharsono, dan kawan-kawan yang dikenal sebagai personel Teater Gapit dengan lakon-lakon seperti "Tuk", "Leng", "Suksuk-pe ng " yang akrab bagi publik, seakan "dipaksa" bermain di luar format permainan mereka.
Cempluk sebagai Camille Emille, atau Inong yang memerankan Dumilah, ataupun Budi Bodot sebagai Iwan Candra, dan pemeran i j lain; dalam pementasan ber-du asi 80 menit ini seperti "mengambang", tak berhasil masuk da-
lam tokoh yang mereka pe rankan. Sebaliknya, dari gaya akting dan aksen yang ditampilkan, tak syak mereka seperti tengah membawakan lakon-lakon yang di tulus oleh (alm) Bambang Widoyo Sp, pendiri Teater Gapit.
Ketika Cempluk bercerita tentang pengalamannya ke kota "Detroit" yang dia lukiskan seperti masuk ke Kota Gotham dalam kisah fiksi Batman "Detroit kuwi kayadene boulevard kangdaws ningsuwung. Toko-tokogedhe da ditinggal lunga. Bar-bar akeh sing pada modar. Gedung-gedung opera mewah ora tau ditonton". (De-troit ibarat bou/evarrfyang panjang tapi kosong. Pertokoan besar ditinggal warganya. Bar-bar banyak yang tutup. Gedung-gedung Opera mewah tanpa penonton.)
Penonton alih-alih mengapresiasi gaya "puisi Goenawan" yang subtil, gaya Cempluk malah mengundang tawa. Akting dan aksennya lebih serupa bakul pasar daripada seorang nyonya terhormat yang minta visa ke Amerika. Sama kurang meyakinkan dengan gaya Inong sebagai selebritas yang mengisahkan perselingkuhannya, atau Budi Bodot yang mengaku bekerj a di perusahaan asing.
Persoalan yang dihadapi bukan hanya lantaran mereka terbiasa dengan format teater (Gapit) yang realis, sementara "Visa" adalah repertoar yang mengangkat realitas kehidupan modern melalui bahasa ungkap yang nic -taforik. Alih bahasa dari Indonesia ke Jawa sendiri, temyata, adalah soal tak main-main. Dalam pementasan ini terasa ada jarak yang tak terkira; bahasa ternya ta bukan hanya masalah sintaksis, tetapi di dalamnya mengandung gagasan budaya, bahkan kosmologi yang sama sekali lain.
(ARDUSMSAWEGA)